Penggemar
Rahasia
Ninda Wiryanti
“Ma,
sebentar lagi aku ulang tahun. Bisa nggak kita sekeluarga pergi ke pantai?”
ucapku satu minggu sebelum 9 Agustus, hari kelahiranku.
Mama
hanya terdiam, ia masih sibuk membereskan perabotan di dapur. “Mungkin aja—“
katanya santai, “Kalau kita punya uang lebih, mungkin bisa”
Yah,
seperti itulah jawaban Mama ketika aku menanyakan acara ulang tahunku. Sejak
bulan lalu aku sudah rajin menanyakannya. Aku tak heran ia bosan. Tetapi ia
selalu mengatakan hal yang sama, hal yang membuat aku hampir putus asa, tentu
saja, sudah menjadi kemungkinan besar bahwa dia tidak akan punya uang pada hari
itu, yang artinya tidak ada perayaan untuk ulang tahunku yang akan berlalu sia-sia.
Aku
kembali ke kamar, duduk di tempat tidur, dan menghela nafas dengan berat. Aku
masih mengenakan seragam putih biru dan belum berniat melepaskannya. “Padahal
aku pingin sekali ulang tahunku dirayakan, dari dulu tidak pernah,” gerutu ku
dalam hati. Memang benar, hampir semasa hidupku aku tak pernah mendapatkan
pesta ulang tahun. Pada saat SD, aku hanya bisa tersenyum sedikit saat
menghadiri acara ulang tahun teman-temanku, aku iri, mereka dapat kado, dapat
kue, dinyanyikan lagu ulang tahun oleh teman-temannya, dan banyak lagi,
sedangkan aku, aku hanya bisa menggaruk-garuk kepala dalam suasana yang
menggembirakan itu.
Aku
bangun dan melihat ke arah jam dinding yang tak henti berdetak, kecuali kalau
baterainya habis. Aku masih membayangkan bagaimana aku yang dulu hingga
sekarang masih memimpikan acara ulang tahun yang berkesan. Sayangnya setiap
kali aku melakukannya, aku selalu mendapatkan mimpi yang buruk-buruk.
Aku
berbaring lagi, emosi ku sudah mencapai puncaknya, bagaimana bisa hidupku berjalan sangat tragis dan dramatis. Padahal seharusnya
nasib baik berpihak padaku, seorang gadis muda yang cantik, baik hati, rajin
menabung, tidak sombong, dan berprestasi dalam segala bidang, terutama dalam menyontek
jawaban teman.
Pikiran-pikiran
miring itu terus menyelubungi otakku, hingga akhirnya aku dapat tertidur pulas.
Tetapi aku masih tidak yakin penyakit dengkur badak ku tidak kambuh. Biasanya
kalau penyakit kronis ku itu kambuh, dengkur ku bisa saja terdengar seperti
adzan maghrib dari masjid desa sebelah, dan aku tidak heran kalau orang-orang sekitar
segera berbuka puasa.
***
Keesokan
harinya, aku menjalankan rutinitasku seperti biasa, termasuk aktivitas menggoda
mama, tapi mama hanya terdiam, ia mengacuhkanku seolah-olah aku hanya seekor nyamuk
DBD yang anemia. Pada akhirnya, aku akan masuk kamar dan membanting pintu
dengan pelan, takut ada yang mendengar.
Malam
pun tiba, aku keluar dari kamar dan melihat papa yang baru pulang kerja. Ia
duduk di sofa dan meletakkan tas kantornya di sebelah kaki. Mama langsung
datang dengan membawa secangkir teh hangat. Aku masih di ambang pintu,
memperhatikan papa, dia masih dengan asyiknya duduk di sofa sambil menonton TV.
Aku berbalik, tadinya aku berfikir untuk menggoda papa, biasa, mengenai ulang
tahun itu. Tapi sayangnya, aku tiba-tiba ingat peristiwa beberapa hari lalu,
aku diceramahi dua jam berturut-turut oleh papa, gara-gara aku minta ulang
tahunku dirayakan. Dia bilang pesta ulang tahun hanya bisa menghambur-hamburkan
uang dan tidak ada maknanya. Maklum saja, papa ku dulu pernah menjadi ustadz di
pesantren,
Aku
melangkah ke luar kamar dan duduk di dekat Papa. Papa pasti menonton berita,
dugaan ku benar. Setidaknya ini lebih baik dari pada harus duduk di depan meja
belajar sambil mengerjakan PR.
***
Hari-hari
berjalan dengan sangat cepat, tak terasa 9 Agustus sudah tiba. Aku masih tidak
mendapatkan apa-apa, dan tak satu pun keluargaku yang peduli. Tadi pagi sewaktu
sarapan, aku bahkan kena marah kakak.
“Eh,
kamu apain hape kakak kemarin?!” bentak kakak ku dengan keras, ia mengacungkan
telefon genggamnya padaku, matanya melotot.
“Ng-nggak
ada apa-apa,” ucapku kaget, aku berusaha meyakinkan, “kemarin aku cuma main fesbuk aja kok,” jawabku kesal, “pagi-pagi
sudah marah.”
“Nah,
terus kenapa LCD-nya sampe bisa rusak?! Kamu apain kemarin?” kakak ku membentak
dengan getir, ia melempar handphone-nya ke pangkuanku. Papa dan Mama pun
datang, ia berusaha melerai kami.
“Kenapa
aku yang disalahin?! Coba aja pikir sendiri,” aku beranjak, membiarkan
handphone itu jatuh dari pangkuanku. Aku kemudian mengambil tas dan berangkat
sekolah tanpa pamit.
Di
sekolah, aku kena marah oleh hampir semua guru. Tak ada satu pun PR dan tugas yang
sudah ku kerjakan. Tadi pagi aku tidak sempat menyontek karena hatiku sedang
kacau. Teman-teman pun tak ada yang berani mendekatiku karena aku sangat mudah marah.
“Yang
belum jadi PR maju!” gelegar suara pak Ahmad, guru yang paling terkenal akan
keganasannya. Kalimat itu diulanginya beberapa kali sambil memukul-mukulkan
pernggaris kayu 1 meter itu ke tangannya sendiri.
Aku
lalu melangkah ke depan kelas, tubuhku gemetar, anganku ciut. Tiba di depan
kelas, aku hanya bisa menunduk, tak berani melihat satu pun wajah-wajah teman
sekelasku yang khawatir.
“Inilah
tampang-tampang anak yang sombong, tidak mau diajar—“ terang pak Ahmad dengan
tegas, aku tak berani berkutik, jantungku berdegup dengan kencang.
Untung
saja aku tidak sendiri, ada dua teman laki-laki yang juga berdiri di sebelah
kiri ku. Mereka juga tak kalah takutnya, mereka memalingkan pandangan keluar
jendela, berusaha untuk tidak mendengar, aku mengikutinya.
Tak
ada satu pun yang lebih mengerikan dari pada peristiwa itu. Tetapi aku cukup
sedih, mengingat kesialan yang jatuh pada hari ulang tahunku. Dimarahi guru, dijauhi
teman, kelaparan, dan sepulang sekolah, aku terkurung seorang diri di kamar,
belum bisa melepas kesalku. Aku pun tertidur dengan seragam masih melekat dan
lampu yang menyala terang.
***
Keesokannya
aku bangun lebih cepat dari biasanya, pagi-pagi sekali aku sudah buru-buru
mandi, saking buru-buru-nya aku hampir kepeleset di kamar mandi.
“Ooh..!
Dasar sabun-sabun,” gagap ku sambil mencengkram dinding kamar mandi dengan
kuat, “Kalau aku sampe nyungsep di sini, aku pasti bakal kejang-kejang di UGD”
Segera
aku bersiap-siap, berpakaian, memasukkan
buku ke dalam tas, dan sempat-sempatnya aku menjambret roti dari atas meja
makan. Setelah itu aku memasang sepatu dan segera melangkah keluar dari rumah.
Tetapi sampainya di luar gerbang ternyata sepatuku lain sebelah. Aku jadinya
harus menukar kembali sepatuku biar benar, kemudian aku harus berjalan
tersipu-sipu pada diri sendiri.
Dalam
perjalanan otak ku berfikir liar, sudah tanggal sepuluh dan tak ada satu pun
yang spesial. Seperti rasanya aku ingin menangis, berteriak, tapi aku tak bisa.
Takut orang-orang akan mengiraku sebagai pelajar gila.
Hari-hari
ku di sekolah berjalan seperti apa yang aku inginkan. Seperti biasa, pagi ini aku
dapat mencopy PR teman dengan lancar, dan tak ada satu pun guru yang memarahi
aku. Aku malah sempat menggoda teman-temanku yang stress karena ada ulangan
mendadak, dan aku tersenyum lega melihat mereka yang buru-buru menghapal
materi. Syukurlah mereka semua tidak remidi, aku juga begitu, aku akhirnya
dapat mengoleksi telur ayam ku yang ke seratus, karena ternyata jawabanku
semuanya salah. Dan tertawan temanku adalah teriakan bahagia untukku.
Sepulang
sekolah, seperti biasa, aku dan kedua temanku, Zahra dan Nely berjalan pulang.
Mereka adalah teman perjalananku yang setia, pulang selalu bersama. Kami sedang
asyik bercanda melewati lapangan sepak bola saat seseorang menghampiri kami.
“Ada
yang namanya Sintia gak di sini?” tanyanya sembarangan, aku terkaget, aku tak
tau apa alasan anak ini mencari diriku, kelihatannya anak laki-laki ini
merupakan adik kelas kami, mungkin kelas delapan.
Tetapi
belum sempat kami menjawab ia sudah menyela, “Ini ada titipan buat Sintia, dari
seseorang—“ ucapnya singkat sambil menyerahkan kotak biru kecil dengan pita di
pinggirnya. Aku menerimanya dengan gemetar, Nely ikut memegang kotak itu,
“Siapa yang ngasi?” tanyanya penasaran.
“Ada,
tapi saya nggak tau namanya—“
“—cowok
apa cewek?” sahut Nely cepat, kelihatan sekali dia sangat penasaran.
“cowok”
Anak
itu berlalu dan menghilang melewati kerumunan siswa yang pulang. Aku masih
terdiam dan bingung. Nely dan Zahra menepuk pundakku, “Ciiieee.. Kado dari
siapa tuh? Ada penggemar rahasia nie..” goda mereka. Entah kenapa, godaan
mereka tak dapat ku cerna, aku lebih memikirkan pengirim kado itu.
“Sini,
sini, biar saya bukain,” ujar Nely, ia mengambil kado itu dari tanganku dan
membukanya dengan cepat, “Wow, jam tangan—“ ia mengambil jam tangan berwarna
ungu dari dalam kado itu, Zahra kemudian mengambilnya, “—pulpen, hmm, dua!”
mereka tertawa, aku mengambil pulpen dari tangan Nely, ada tulisan nama ku di
sana, sulit dipercaya kado ini ternyata tidak salah alamat.
“Ada
nama pengirimnya, surat?” tanyaku penasaran, rasanya sangat aneh jika aku
bertanya seperti ini.
“Nggak
ada, tapi intinya dia minta kamu rajin-rajin belajar, tuh buktinya,” ucap Zahra
singkat setelah mengambil kotak itu dari Nely. Mereka merapikan kado itu
kembali dan memberikannya padaku, aku langsung memasukkannya ke dalam tas. Aku
tidak heran jika mereka terus mengejekku sepanjang perjalanan pulang, baik itu
dengan, ‘penggemar rahasia’, ‘so sweet’, ‘kado ultah spesial’, atau ejekan
lainnya. Dan aku tak yakin jika tadi mereka tidak melihat muka ku yang memerah.
***
Ternyata
ada banyak hal yang belum aku temukan di dunia ini. Tidak punya uang bukan
berarti seseorang itu miskin, tidak pintar bukan berarti seseorang itu bodoh,
bahkan jika tidak ada yang peduli bukan berarti tidak ada orang yang mengingat.
Kado tersebut telah membuktikan bahwa siapa pun diriku, bagaimanapun sifatku,
masih ada sosok yang memperhatikan dan menyayangi diriku. Termasuk orang tua
yang tidak merayakan ulang tahunku dengan suatu alasan, dan figur yang tidak
pernah mau diketahui keberadaannya, penggemar rahasia.
***
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah berkunjung, tinggalkan komentar yaa