Friday, December 5, 2014

Cerpen: Penggemar Rahasia



Penggemar Rahasia
Ninda Wiryanti







            “Ma, sebentar lagi aku ulang tahun. Bisa nggak kita sekeluarga pergi ke pantai?” ucapku satu minggu sebelum 9 Agustus, hari kelahiranku.



            Mama hanya terdiam, ia masih sibuk membereskan perabotan di dapur. “Mungkin aja—“ katanya santai, “Kalau kita punya uang lebih, mungkin bisa”



            Yah, seperti itulah jawaban Mama ketika aku menanyakan acara ulang tahunku. Sejak bulan lalu aku sudah rajin menanyakannya. Aku tak heran ia bosan. Tetapi ia selalu mengatakan hal yang sama, hal yang membuat aku hampir putus asa, tentu saja, sudah menjadi kemungkinan besar bahwa dia tidak akan punya uang pada hari itu, yang artinya tidak ada perayaan untuk ulang tahunku yang akan berlalu sia-sia.



            Aku kembali ke kamar, duduk di tempat tidur, dan menghela nafas dengan berat. Aku masih mengenakan seragam putih biru dan belum berniat melepaskannya. “Padahal aku pingin sekali ulang tahunku dirayakan, dari dulu tidak pernah,” gerutu ku dalam hati. Memang benar, hampir semasa hidupku aku tak pernah mendapatkan pesta ulang tahun. Pada saat SD, aku hanya bisa tersenyum sedikit saat menghadiri acara ulang tahun teman-temanku, aku iri, mereka dapat kado, dapat kue, dinyanyikan lagu ulang tahun oleh teman-temannya, dan banyak lagi, sedangkan aku, aku hanya bisa menggaruk-garuk kepala dalam suasana yang menggembirakan itu.



            Aku bangun dan melihat ke arah jam dinding yang tak henti berdetak, kecuali kalau baterainya habis. Aku masih membayangkan bagaimana aku yang dulu hingga sekarang masih memimpikan acara ulang tahun yang berkesan. Sayangnya setiap kali aku melakukannya, aku selalu mendapatkan mimpi yang buruk-buruk.



            Aku berbaring lagi, emosi ku sudah mencapai puncaknya, bagaimana bisa hidupku  berjalan sangat tragis dan dramatis. Padahal seharusnya nasib baik berpihak padaku, seorang gadis muda yang cantik, baik hati, rajin menabung, tidak sombong, dan berprestasi dalam segala bidang, terutama dalam menyontek jawaban teman.



            Pikiran-pikiran miring itu terus menyelubungi otakku, hingga akhirnya aku dapat tertidur pulas. Tetapi aku masih tidak yakin penyakit dengkur badak ku tidak kambuh. Biasanya kalau penyakit kronis ku itu kambuh, dengkur ku bisa saja terdengar seperti adzan maghrib dari masjid desa sebelah, dan aku tidak heran kalau orang-orang sekitar segera berbuka puasa.



***



            Keesokan harinya, aku menjalankan rutinitasku seperti biasa, termasuk aktivitas menggoda mama, tapi mama hanya terdiam, ia mengacuhkanku seolah-olah aku hanya seekor nyamuk DBD yang anemia. Pada akhirnya, aku akan masuk kamar dan membanting pintu dengan pelan, takut ada yang mendengar.



            Malam pun tiba, aku keluar dari kamar dan melihat papa yang baru pulang kerja. Ia duduk di sofa dan meletakkan tas kantornya di sebelah kaki. Mama langsung datang dengan membawa secangkir teh hangat. Aku masih di ambang pintu, memperhatikan papa, dia masih dengan asyiknya duduk di sofa sambil menonton TV. Aku berbalik, tadinya aku berfikir untuk menggoda papa, biasa, mengenai ulang tahun itu. Tapi sayangnya, aku tiba-tiba ingat peristiwa beberapa hari lalu, aku diceramahi dua jam berturut-turut oleh papa, gara-gara aku minta ulang tahunku dirayakan. Dia bilang pesta ulang tahun hanya bisa menghambur-hamburkan uang dan tidak ada maknanya. Maklum saja, papa ku dulu pernah menjadi ustadz di pesantren,



            Aku melangkah ke luar kamar dan duduk di dekat Papa. Papa pasti menonton berita, dugaan ku benar. Setidaknya ini lebih baik dari pada harus duduk di depan meja belajar sambil mengerjakan PR.



***



            Hari-hari berjalan dengan sangat cepat, tak terasa 9 Agustus sudah tiba. Aku masih tidak mendapatkan apa-apa, dan tak satu pun keluargaku yang peduli. Tadi pagi sewaktu sarapan, aku bahkan kena marah kakak.



            “Eh, kamu apain hape kakak kemarin?!” bentak kakak ku dengan keras, ia mengacungkan telefon genggamnya padaku, matanya melotot.



            “Ng-nggak ada apa-apa,” ucapku kaget, aku berusaha meyakinkan, “kemarin aku cuma main fesbuk aja kok,” jawabku kesal, “pagi-pagi sudah marah.”



            “Nah, terus kenapa LCD-nya sampe bisa rusak?! Kamu apain kemarin?” kakak ku membentak dengan getir, ia melempar handphone-nya ke pangkuanku. Papa dan Mama pun datang, ia berusaha melerai kami.



            “Kenapa aku yang disalahin?! Coba aja pikir sendiri,” aku beranjak, membiarkan handphone itu jatuh dari pangkuanku. Aku kemudian mengambil tas dan berangkat sekolah tanpa pamit.



            Di sekolah, aku kena marah oleh hampir semua guru. Tak ada satu pun PR dan tugas yang sudah ku kerjakan. Tadi pagi aku tidak sempat menyontek karena hatiku sedang kacau. Teman-teman pun tak ada yang berani mendekatiku karena aku  sangat mudah marah.



            “Yang belum jadi PR maju!” gelegar suara pak Ahmad, guru yang paling terkenal akan keganasannya. Kalimat itu diulanginya beberapa kali sambil memukul-mukulkan pernggaris kayu 1 meter itu ke tangannya sendiri.



            Aku lalu melangkah ke depan kelas, tubuhku gemetar, anganku ciut. Tiba di depan kelas, aku hanya bisa menunduk, tak berani melihat satu pun wajah-wajah teman sekelasku yang khawatir.



            “Inilah tampang-tampang anak yang sombong, tidak mau diajar—“ terang pak Ahmad dengan tegas, aku tak berani berkutik, jantungku berdegup dengan kencang.



            Untung saja aku tidak sendiri, ada dua teman laki-laki yang juga berdiri di sebelah kiri ku. Mereka juga tak kalah takutnya, mereka memalingkan pandangan keluar jendela, berusaha untuk tidak mendengar, aku mengikutinya.



            Tak ada satu pun yang lebih mengerikan dari pada peristiwa itu. Tetapi aku cukup sedih, mengingat kesialan yang jatuh pada hari ulang tahunku. Dimarahi guru, dijauhi teman, kelaparan, dan sepulang sekolah, aku terkurung seorang diri di kamar, belum bisa melepas kesalku. Aku pun tertidur dengan seragam masih melekat dan lampu yang menyala terang.



***



            Keesokannya aku bangun lebih cepat dari biasanya, pagi-pagi sekali aku sudah buru-buru mandi, saking buru-buru-nya aku hampir kepeleset di kamar mandi.



            “Ooh..! Dasar sabun-sabun,” gagap ku sambil mencengkram dinding kamar mandi dengan kuat, “Kalau aku sampe nyungsep di sini, aku pasti bakal kejang-kejang di UGD”



            Segera aku  bersiap-siap, berpakaian, memasukkan buku ke dalam tas, dan sempat-sempatnya aku menjambret roti dari atas meja makan. Setelah itu aku memasang sepatu dan segera melangkah keluar dari rumah. Tetapi sampainya di luar gerbang ternyata sepatuku lain sebelah. Aku jadinya harus menukar kembali sepatuku biar benar, kemudian aku harus berjalan tersipu-sipu pada diri sendiri.



            Dalam perjalanan otak ku berfikir liar, sudah tanggal sepuluh dan tak ada satu pun yang spesial. Seperti rasanya aku ingin menangis, berteriak, tapi aku tak bisa. Takut orang-orang akan mengiraku sebagai pelajar gila.



            Hari-hari ku di sekolah berjalan seperti apa yang aku inginkan. Seperti biasa, pagi ini aku dapat mencopy PR teman dengan lancar, dan tak ada satu pun guru yang memarahi aku. Aku malah sempat menggoda teman-temanku yang stress karena ada ulangan mendadak, dan aku tersenyum lega melihat mereka yang buru-buru menghapal materi. Syukurlah mereka semua tidak remidi, aku juga begitu, aku akhirnya dapat mengoleksi telur ayam ku yang ke seratus, karena ternyata jawabanku semuanya salah. Dan tertawan temanku adalah teriakan bahagia untukku.



            Sepulang sekolah, seperti biasa, aku dan kedua temanku, Zahra dan Nely berjalan pulang. Mereka adalah teman perjalananku yang setia, pulang selalu bersama. Kami sedang asyik bercanda melewati lapangan sepak bola saat seseorang menghampiri kami.



            “Ada yang namanya Sintia gak di sini?” tanyanya sembarangan, aku terkaget, aku tak tau apa alasan anak ini mencari diriku, kelihatannya anak laki-laki ini merupakan adik kelas kami, mungkin kelas delapan.



            Tetapi belum sempat kami menjawab ia sudah menyela, “Ini ada titipan buat Sintia, dari seseorang—“ ucapnya singkat sambil menyerahkan kotak biru kecil dengan pita di pinggirnya. Aku menerimanya dengan gemetar, Nely ikut memegang kotak itu, “Siapa yang ngasi?” tanyanya penasaran.



            “Ada, tapi saya nggak tau namanya—“



            “—cowok apa cewek?” sahut Nely cepat, kelihatan sekali dia sangat penasaran.



            “cowok”



            Anak itu berlalu dan menghilang melewati kerumunan siswa yang pulang. Aku masih terdiam dan bingung. Nely dan Zahra menepuk pundakku, “Ciiieee.. Kado dari siapa tuh? Ada penggemar rahasia nie..” goda mereka. Entah kenapa, godaan mereka tak dapat ku cerna, aku lebih memikirkan pengirim kado itu.



            “Sini, sini, biar saya bukain,” ujar Nely, ia mengambil kado itu dari tanganku dan membukanya dengan cepat, “Wow, jam tangan—“ ia mengambil jam tangan berwarna ungu dari dalam kado itu, Zahra kemudian mengambilnya, “—pulpen, hmm, dua!” mereka tertawa, aku mengambil pulpen dari tangan Nely, ada tulisan nama ku di sana, sulit dipercaya kado ini ternyata tidak salah alamat.



            “Ada nama pengirimnya, surat?” tanyaku penasaran, rasanya sangat aneh jika aku bertanya seperti ini.



            “Nggak ada, tapi intinya dia minta kamu rajin-rajin belajar, tuh buktinya,” ucap Zahra singkat setelah mengambil kotak itu dari Nely. Mereka merapikan kado itu kembali dan memberikannya padaku, aku langsung memasukkannya ke dalam tas. Aku tidak heran jika mereka terus mengejekku sepanjang perjalanan pulang, baik itu dengan, ‘penggemar rahasia’, ‘so sweet’, ‘kado ultah spesial’, atau ejekan lainnya. Dan aku tak yakin jika tadi mereka tidak melihat muka ku yang memerah.



***



            Ternyata ada banyak hal yang belum aku temukan di dunia ini. Tidak punya uang bukan berarti seseorang itu miskin, tidak pintar bukan berarti seseorang itu bodoh, bahkan jika tidak ada yang peduli bukan berarti tidak ada orang yang mengingat. Kado tersebut telah membuktikan bahwa siapa pun diriku, bagaimanapun sifatku, masih ada sosok yang memperhatikan dan menyayangi diriku. Termasuk orang tua yang tidak merayakan ulang tahunku dengan suatu alasan, dan figur yang tidak pernah mau diketahui keberadaannya, penggemar rahasia.



***

           

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah berkunjung, tinggalkan komentar yaa