Mawar Terakhir
Ninda Wiryanti
Rambutnya terurai bak tirai
gemerlap yang tertimpa sinar lemah sang Mentari. Matanya menerawang jauh.
Sejauh mata sanggup menembus rahasia kehidupan. Hatinya seperti gersang di
ladang, tak sanggup menumbuhkan benih-benih pengharapan. Tubuhnya kaku, sekaku
darah dalam daging yang membeku.
Daun-daun telah
berjatuhan dari tangkainya yang kering. Rumput-rumput enggan bergoyang. Beringin
dengan akar gantung yang menghujam, sudah tak sanggup menelan air. Jejeran
nisan yang rapi, butiran tanah merah yang menggunung, hamparan kamboja yang
layu, tak mampu lagi menahan gelar pemakaman untuk tempat itu. Jauh di ufuk
barat, jajaran pegunungan terlihat jelas, burung-burung terbang menjauh. Langit
mulai menguning. Mentari merangkak turun dari pangkuan hari. Bintang pertama
sudah menggantung.
Sosok itu duduk
termenung di sebuah bangku panjang yang rapuh. Samar-samar di temaram senja, ia
tak berkedip. Teringat peristiwa tujuh hari lalu...
***
Isak tangis keluarga
menghiasi pemakaman sore itu. Kerumunan berbaju hitam tak kunjung berkurang.
Semua insan terlihat bersedih. Pasang mata yang berbinar enggan menahan
gelinang air mata perpisahan. Gemulai taburan bunga tertiup angin hampa, hadiah
terakhir untuk sang mendiang.
Ia mencengkram tanah
dengan kuat. Tak rela jika nyawa mesti lepas dari raga. Pipinya yang basah
menuntut jiwa yang kekal. Hasrat yang menggores sampai ke dalam hati, kini
menghantui.
Ia menggenggam tanah
merah sambil terisak. Berharap seberkas cahaya ilahi menghampiri. Tak peduli
harapnya terlalu besar, tak peduli inginnya terlalu kasar. Hati yang masih
selembut salju, tak ingin hidup sendiri.
Umurnya baru enam tahun
saat ibunya pergi ke dunia seberang. Usia yang sangat rapuh bagi anak kecil
yang hanya bisa bermain. Ayahnya yang dicerai mati hanya bisa menahan beban. Ia
yang menemani anak kecil itu hingga ia dapat menggores pena pada kertas tipis
seputih salju. Ia yang membimbing anak kecil itu hingga ia dapat membedakan
arti sesal dan bahagia. Ia yang menuntun anak kecil itu sampai ia dewasa.
Hingga ia mengetahui, siapa jati dirinya yang sebenarnya.
Kini, setelah anak
kecil itu dewasa. Ia harus menerjang badai yang menggila. Ia harus berjalan
terseret-seret tanpa arah dan tujuan. Ia tak tau kepada siapa ia akan bertanya.
Hidup memang pahit, sepahit buah mahuni yang
baru jatuh dari pohonnya. Ia memang tak rela jika Tuhan mengubah nasibnya
begitu cepat, ia tak ingin jalan titiannya menjadi curam. Bak mencari kutu
dalam ijuk, semuanya menjadi mustahil.
“Ayah... Engkau adalah satu-satunya permata dalam hati kecilku.”
Air matanya semakin
mengucur deras.Pria yang ia tangisi, pria yang ia sesali, pria yang sekarang
terkubur dalam-dalam, adalah ayahnya. Ia adalah satu-satunya orang yang berarti
dalam catatan sejarahnya. Ia adalah satu-satunya orang yang mengerti siapa
dirinya.
Isaknya kembali
terdengar. Ia menggenggam bunga-bunga kematian itu dengan lembut, membiarkan
goresan kenangan terukir di dalamnya. Ia tak sanggup memandang tambahan gelar
di atas nisan ayahnya, kumpulan abjad yang memberitakan sesuatu, ‘Almarhum’
“Ayah, engkau telah memberiku nama yang indah..” ia tersenyum, senyum
yang untuk pertama kalinya membuat dunia gembira, pipinya merona, “Nah, sekarang nama ayah sudah bertambah,
nama ayah sekarang Al-,” ucapannya terhenti, ia kembali terisak, tangisnya
berlanjut. Air mata yang kering, sekarang tak terbendung. Ia menundukkan kepala
mencoba menghapus tiap-tiap kilasan raut wajah ayahnya yang bersinar. Tapi
tetap, ia tidak akan bisa.
“Mikayla sayang,
sudah..”tiba-tiba sepasang tangan lembut mengelus rambutnya yang terurai, “Ayah
tidak mau melihatmu bersedih seperti ini.. Biarkan ayahmu tenang, biarkan
ayahmu tersenyum, ndoro..” bisik suara lemah yang tak lain adalah bibi Mikayla,
satu-satunya saudara ibu Mikayla yang masih hidup.
Ayla terdiam,
pikirannya sangat kacau, otaknya telah lemah, tubuhnya sudah lelah. Ia tak
mampu mengakatakan apapun, walau hanya dengan gumaman.
Tiba-tiba ia merasakan
tubuhnya terengkuh. Sepasang tangan kasar dan keras telah menariknya ke
belakang. Dadanya tersentak, hati kecilnya terlonjak, ia terhempas pada tanah
yang basah, suara keras mendengung di telinganya yang peka.
“Ayahmu tak ingin ditangisi, Ayla. Kita hanya
bisa berdoa.” ucap pamannya dengan nada tegas.
Mikayla tertunduk, ia
merasa bersalah. Setidaknya ucapan pamannya memang benar. Ia seharusnya berdoa,
bukan menangis hingga air matanya berganti dengan darah. Seolah-olah baru
tersadar, ia berbalik. Ia melihat pamannya dengan wajah geram memberikan
isyarat untuk pulang. Ia menahan sedikit demi sedikit isaknya, lalu beranjak.
Pemakaman umum benar-benar sudah sepi. Kerumunan berbaju hitam sejak tadi sudah
surut. Tanah merah yang basah sudah mulai kering. Ia menyusuri rumput-rumput
kering itu dengan langkahnya yang layu, mengikuti tiap jejak paman dan bibinya
yang berbekas, syarafnya menggeram, ia
berjanji tak akan menjalani sisa hari ini dengan sungguh-sungguh.
***
Dua hari berikutnya, Mikayla selalu pergi ke pemakaman ayahnya. Ia tak
pernah lupa untuk menjenguk ayah di kediaman terakhirnya. Setiap pagi dan sore,
di saat mentari menyapa dengan sinarnya yang hangat dan di saat senja
menyongsongnya dengan berkas-berkas sinar jingga. Ia menaburkan bunga-bunga
segar, memercikkan air yang berkilauan, dan membawakan doa-doa yang
beralamatkan langsung ke mana ayahnya berada.
“Ayah... Ayah jangan pernah merasa kesepian.. Mikayla akan selalu ada di
sini, Mikayla kemari dua kali. Jangan takut ayah, pagi akan segera menjelang,
lewati hari ini dengan tenang” Mikayla kembali menangis, tangisnya dalam kegelapan
tak terdengar. Hari hampir malam, ia masih di sana. Burung hantu bermata lebar
ber-uhu-uhu lemah, kelelawar menyelinap dari dedaunan. Bintang dan bulan mulai
memperlihatkan terangnya.
***
Sore itu, pada hari
ketiga setelah pemakaman, di saat angin dingin bertiup pada ubun-ubun, saat
bayang-bayang menjadi semakin panjang, saat sinar-sinar tak kembali memantul.
Berdua bersama siluet dirinya yang keabuan. Mikayla kembali mengunjungi makam
itu. Aroma tanah yang kering, dan nisan yang berlumut, tak akan pernah bisa
membuat jiwanya ciut. Mikayla, anak tunggal yang ditinggal sendiri, sekarang
berdiri, menaburkan bunga-bunga beraroma sayu, bersisakan tangkai pengharapan,
lemas dan lunglai terkena tanah merah yang lembap. Matanya berair, pipinya
basah. Raut duka ayah harus ditanggungnya sendiri. Haruskah terfikir olehnya,
dengan mukjizat sang ilahi, ayahnya akan hidup kembali. Ia duduk bersimpuh, di
samping makam ayahnya yang semakin rendah tererosi air dan udara dingin yang
bertiup lemah. Ia menunduk, merenung sejenak. Bulir air mata kesedihan yang
mendalam menetes pada pakaiannya yang kering, tak sempat mengalir namun
terserap.
“Ya Tuhan.. Ampuni dosa ayahku, dan dosa ibuku. Jangan salahkan dia
karena dia tak sempat temani aku, sehingga aku benar-benar mampu jalani hidup.
Jangan salahkan dia karena membiarkan aku menangis. Biarkan karangan bunga ini
hidup sebagai jelmaan balas budiku padanya.. Demi dunia, aku tak akan pernah
bisa membalasnya...”
Ia kembali terisak, air
mata yang bergulir setiap kata yang diucapkannya adalah emosi yang menusuk.
Tangis yang tak terbendung membuat mata ini menjadi samar. Diri ini tak mampu
menahan rasa untuk jangka waktu yang lama. Mikayla memutuskan untuk kembali,
tinggal di tempat yang hangat tanpa ayah. Di mana pun ia berada ia akan tetap
sengsara, pikirnya. Ia beranjak, mengambil keranjang bunga yang kosong, dan mengusap kedua matanya yang bengkak. Ia
melihat setangkai mawar putih yang disampul rapi tergeletak begitu saja di atas
makam ayahnya. Tak terlihat olehnya, tak pula ia sadari sejak tadi. Ia
memungutnya dengan sebelah tangan, mengamatinya dengan rasa penasaran yang
menggebu.
“Untuk Mikayla”
Ia membaca tulisan pada
secarik kertas kecil yang menggantung kaku pada mawar itu. Angannya melayang, jiwa
dan akal seakan tidak percaya. Ia kembali memandang tulisan tangan rapi yang
tertera di sana, masih sama. Mikayla kebingungan, ia merasa takut, pikiran
negatif menghantui benaknya. Harapan dari hati kecilnya terasa ganjal. Benarkah mawar ini adalah titipan ayahnya
yang sedang berada di alam sana? Akankah mawar ini berasal dari hantu yang
ingin mengelabuhinya? Akankah mawar ini berasal dari ayahnya? Akankan tulisan
ini tulisan ayahnya? Benarkah mawar ini dari ayahnya yang tercinta? Ia
tersenyum, ia mencoba mempertahankan harapan dalam dari hati kecilnya. Ia
membiarkan pertanyaan itu menyerbu walau terasa sangat berbeda. Ia melangkah,
membiarkan mawar putih yang tersampul rapi itu erat dalam pelukannya. Hasrat
telah merelakan Mikayla untuk mengingat aroma mawar putih sebagai anugerah
ayahnya. Isaknya satu dua kali masih terdengar. Harapan kecil yang menjadi
nyata, kini akan menjadi satu-satunya hal untuk ditangisi di dunia.
Tiga hari berikutnya,
setiap ia berkunjung ke makam, ia selalu mendapati mawar putih yang sama
tergeletak dihadapannya. Mawar dengan aroma yang sama, rasa yang sama, dan
perasaan yang sama saat dia mengenang ayahnya. Mawar itu adalah satu-satunya
alasan ia menanti. Menanti setiap detik waktu berjalan, setiap detik waktu
terlewat, setiap detik waktu tersisa untuk menuju hari berikutnya. Mawar putih
itu meyakinkan Mikayla, bahwa setiap penantian panjang dalam hidupnya, tak akan
pernah sia-sia. Mawar putih itu juga meyakinkan batin Mikayla, bahwa ayahnya
memang mengerti suasana hatinya.
Beberapa saat kemudian, Mikayla termenung. Ia duduk di sebuah bangku
panjang yang rapuh dan berdebu tak jauh dari makam ayahnya. Ia mengingat
kembali langkah-langkah yang telah diambil minggu-minggu ini, langkah yang
mantap ia pijaki, langkah yang terpaksa
ia lalui, dan langkah dalam diam. Ia masih memegangi mawar ketiga yang
didapatkannya. Diletakkannya mawar itu disampingnya, lalu ia terpikir. Tak
seharusnya dia menggunakan imajinasinya terlalu banyak, logika-nya terbuka.
Mustahil jika arwah ayahnya yang meletakkan mawar putih itu untuknya. Hanya
manusia dan makhluk hidup-lah yang nyata, sementara ayahnya bukan hal yang
nyata lagi. Mikayla juga tak dapat menangkap tanda-tanda pengunjung lain selain
dirinya. Hal itu tidak memungkinkan ia dapat mengetahui pengirim mawar itu
dengan segera, lalu ia pun bertanya pada penjaga makam.
“Hhmm, bang. Abang
pernah tidak lihat orang lain selain saya yang-eh-anu..” isaknya terdengar, ia
mencoba untuk tidak terlihat menangis. Ia menunduk, mengambil nafas panjang,
dan memulai kalimatnya dengan kalimat bernada rendah, “orang selain saya yang
mengunjungi makam ayah saya?” Mikayla merasa sedikit aneh menyebut kata ‘ayah’,
sepertinya trauma yang mendalam masih menyelimuti dirinya.
“Makam yang mana neng?”
tanya penjaga makam itu penasaran
“Yang itu..” tunjuk
Mikayla tanpa ragu, ia menunduk sedikit, takut matanya yang lembam terlihat
oleh penjaga makam itu.
“Oh, itu neng.. Setau
saya Cuma neng sendiri yang sering ke sini..” balas penjaga kuburan itu dengan
sopan. Ia tersenyum kemudian memperhatikan Mikayla yang mulai bertingkah aneh.
“Beneran bang?” tanya
Mikayla tak percaya, hati kecilnya merasa kegirangan
“Iya, saya sering
keliling di sekitar sini kok neng, abang yakin”
“Terimakasih bang kalau
begitu” Mikayla menjawab dengan sopan. Ia tersenyum, matanya berkaca-kaca,
senyumannya yang manis sangat sesuai dengan pipnya yang merah merona. Hanya
saja pipinya yang basah menandakan seharusnya ia tak bersedih.
Dalam perjalanan
pulang, Mikayla selalu dibayang-bayangi oleh kehadiran mawar putih itu. Siapa
gerangan yang sudi mengirim sekuntum bunga mawar kepada anak yatim piatu yang
tak terpandang ini? Siapa pula yang tak menuliskan nama hingga merasa dirinya
tak perlu diketahui?
Setibanya di depan
gerbang rumah, pikiran Mikayla terhenti. Mengapa ia tak membalas budi kepada
sang pengirim. Mengapa ia harus pikir panjang, sementara pengirim bunga mawar
pastilah berkunjung ke makam ayahnya, meletakkan bunga itu di sana, lalu
menghilang. Itu jawabannya. Ia harus ke makam itu lebih awal.
Keesokan harinya,
pagi-pagi sekali ia pergi ke makam. Ia menggenggam senter di tangannya dan
mengarahkan cahaya ke jalanan setapak pekuburan itu. Tak ada rasa takut,
rasa itu
telah diselimuti oleh rasa penasaran yang menggebu. Ia berjalan menuju
makam ayahnya, berhasil, belum ada bunga mawar di sana. Fakta bahwa belum satu
orang pun yang menginjakkan kaki di makam sepagi itu. Agar tidak membatalkan
niat sang pengirim mawar, Mikayla duduk di kursi panjang, tak jauh dari makam
ayahnya. Sambil menunggu, ia mengeluarkan mawar ungu dari dalam tasnya dan
sepucuk surat untuk sang pengirim. Sambil tersenyum, ia terus menunggu. Fajar
pun terbit, ia masih menunggu.
Mentari bergerak dengan
cepat, hari sudah hampir sore. Berkali-kali ia melihat ke makam ayahnya, ke
sekitar, tapi hasilnya nihil. Sudah putuslah harapan Mikayla, si pengirin tak
kunjung datang, mawar di pangkuannya sudah mulai layu, semangatnya telah pudar.
Tiba-tiba saja
terdengar suara tapak kaki yang semakin lama semakin dekat, semakin jelas,
suara yang untuk pertama kalinya membuat Mikayla takut. Semakin dekat.. semakin
dekat... Gerombolan berbaju hitam pun terlihat, di arak-arakan depan terlihat
enam orang sedang menggotong keranda ke arahnya, Mikayla menepi, memberi ruang
untuk mereka. Ada rasa khawatir dalam benaknya. Setiap detak jantungnya
diiringi kilasan rasa ketakutan. Ia melihat lebih dekat, mengikuti tiap langkah
mereka berjalan. Suara alas kaki yang tergesa-gesa, bergesekan dengan rumput
keras yang kering menghasilkan melodi alam yang indah. Mereka hanya orang
biasa, kekhawatiran Mikayla meredup. Ia mengikuti kemana arah gerombolan ini
berjalan.
Gerombolan berbaju
hitam itu berhenti di sebuah pemakaman yang tak asing bagi Mikayla, makam
ayahnya. Sedari tadi ternyata Mikayla tidak memperhatikan, ternyata ada sebuah
lubang persegi panjang terletak di sebelah makam ayahnya. Rasa keingintahuannya
membara, dengan sabar dan hati-hati, ia terus mengikuti proses pemakaman yang
berlangsung.
Tak lama kemudian,
kerumunan mulai bubar. Tak ada satu pun dari mereka yang terisak, menangis.
Sepertinya dia adalah orang yang tidak diharapkan, orang ini. Sampai akhirnya,
hanya Mikayla-lah yang tersisa. Ia mendekat, mencoba menggapai batu nisan indah
yang masih rapuh di makam baru itu. Ia ingin mengenali sosok yang terkubur
dalam gundukan tanah merah kering. Ia tercengang, di atas batu nisan itu
tertulis.
Di
sini terukir kata hati
Dari
sang pengirim Mawar Putih
untuk
Mikayla tersayang
Tetaplah
tersenyum di saat hidup
mencabikmu dengan keras
Aroma
mawar putih yang sama
Rasa
yang sama
Tangan
menulis di atas kertas seputih salju
Mikayla tertegun, ia
membaca tulisan di atas nisan itu berkali-kali. Ia merasa kesal pada dirinya,
kepalanya panas, ia tak dapat mencerna kalimat yang terukir yang di sana. Yang
ia tahu hanya namanya terukir indah di sana, apakah ia yang dimaksud, apakah
ada orang lain di sekitar sini yang bernama sama dengannya.
Sepasang tangan kaku
mengelus pundaknya. Suara parau yang pernah dikenalnya berkata dengan lirih,
“Dia Susanto, kakakmu sendiri Mikayla, ia tak sempat bertemu kamu karena
ayahmu. Ayahmu tak pernah mengizinkan Susanto tinggal dengan mu,” sosok itu
duduk, ia menatap Mikayla dengan tatapan yang berbeda, tatapan yang untuk
pertama kalinya membuat Mikayla merasa sejuk. Ia adalah penjaga kuburan yang
pernah Mikayla temui, “ia tak pernah mengakui Susanto sebagai anaknya. Susanto
memang bukan anaknya, tapi Susanto adalah saudara tirimu, Mikayla. Ayahmu tidak
menerimanya karena ia berbeda, Susanto terkena leukimia-“ penjaga kuburan itu
terisak “-saya yang merawatnya setelah ibumu meninggal”
“Lalu kenapa anda
berbohong?” Mikayla mulai lagi, emosinya memuncak. Amarahnya membara, “Kenapa
anda berbohong pada saya saat saya menanyakan anda yang sebenarnya? Apa yang
terjadi?” nada bicara Mikayla meninggi ia tak habis pikir semuanya akan jadi
begini.
“Dengar, Mikayla. Saya
tidak bermaksud membohongi kamu. Itu semua keinginan Susanto, apa yang saya
lakukan adalah pilihan. Dan pilihan itu adalah permintaan Susanto yang
terakhir, maaf Mikayla, saya tidak bermaksud untuk melakukan itu” intonasi
bicaranya menjadi penuh sesal, matanya berair, “ia menitipkanmu ini” penjaga
kuburan itu menyerahkan sepucuk surat dan sekuntum bunga mawar putih.
Mikayla membacanya,
tangisnya meledak. Orang ini adalah kakaknya. Tulisan di atas nisan ini untuknya. Dan mawar ini
adalah mawar terakhir yang dapat diberikan kakaknya, untuknya.
***
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah berkunjung, tinggalkan komentar yaa