Sunday, July 24, 2016

Contoh Teks Ulasan (Resensi) untuk Film - Tugas Bahasa Indonesia

Kali ini author akan share salah satu teks ulasan (resensi) film yang sudah author buat. Dalam resensi ini author mengulas sebuah film yang berjudul Soekarno: Indonesia Merdeka. Semoga bisa membantu :)
Ket: Teks ini sudah dinilai dan hasilnya bisa dipertanggung jawabkan

Kilas Balik ’45 Digenggaman Tokoh-tokoh Nasionalis Indonesia


Judul Film       : Soekarno: Indonesia Merdeka
Sutradara         : Hanung Bramantyo
Tanggal rilis     : 11 Desember 2013

            Soekarno: Indonesia Merdeka adalah sebuah film yang produksi oleh MVP Pictures dan diadaptasi dari cerita hidup Ir. Soekarno, salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia sekaligus  presiden Indonesia yang pertama. Di dalam film ini, sosok Soekarno Muda tumbuh menjadi tokoh heroik nasionalis yang berperan penting dalam sejarah Indonesia, mulai dari masa penjajahan Belanda & Jepang hingga akhirnya fondasi kedaulatan Republik Indonesia mulai berdiri.
            Film ini dibuka dengan cerita seorang bocah lelaki bernama Koesno (Emir Mahira) yang sering sakit-sakitan. Ayah Koesno yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo (Sujiwo Tedjo), beranggapan bahwa keadaan ini diakibatkan karena nama anaknya yang tidak sesuai. Untuk mengatasinya, keluarga Koesno mengadakan acara penggantian nama Koesno menjadi Soekarno, yang diinspirasi oleh sosok Adipati Karno dalam kisah pewayangan.
            Dari sana perlahan-lahan pribadi Soekarno mulai berkembang. Sejak dia masih remaja dan berguru pada H.O.S Cokroaminoto, pendiri sarekat islam, sampai akhirnya membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945. Tidak hanya itu, Hanung menggambarkan perjalanan kehidupan politik Soekarno, berawal dari kehadirannya di depan podium untuk mengguncang semangat rakyat pada usia yang masih muda, yaitu 24 tahun, kemudian liku-liku kehidupan Soekarno berlanjut dengan kegiatan politik, yang berkali-kali membuat Soekarno mengalami penahanan, dan pengasingan dari pemerintah kolonial dan imperial. Film ini dibintangi oleh Ario Bayu (Soekarno), Lukman Sardi (Mohammad Hatta), Maudy Koesnaendi (Inggit Garnasih), Tanta Ginting (Sutan Sjahrir), Tika Bravani (Fatmawati), Sudjiwo Tedjo (Raden Soekemi Sosrodihardjo), Ayu Laksi (Ida Ayu Nyoman Rai), dan Hamdy Salad (Ahmad Subardjo).         
            Keputusan penting sutradara Hanung Bramantyo dan produser Raam Punjabi dalam memilih pemeran dalam film ini ternyata dapat menggambarkan karakter masing-masing. Setiap pemain setidaknya memiliki beberapa kesamaan fisik dengan tokoh aslinya. Walaupun, pada dasarnya harus diakui, bahwa sangat sulit mencari pemain yang benar-benar identik. Emir Contohnya, Emir Mahira yang membawa peran Soekarno Muda (Koesno), raut wajahnya yang polos, ditambah lagi kulitnya yang berwarna kecoklatan dengan bendo erat dikepala, sungguh mencerminkan sosok soekarno muda. Begitu juga Ario Bayu yang memiliki postur tegap dan suara tegas seperti Soekarno, Maudy Koesnaendi yang karakter wajahnya mirip Inggit Purwasih, atau Tika Bravani yang sekilas terlihat sangat identik dengan Fatmawati. Tidak bisa dipungkiri, tata artistik, seperti tata rias dan tata busana,  juga dapat menambah aksen-aksen lainnya agar terlihat lebih jelas.
            Tidak hanya itu saja, dalam film ini terdapat banyak sekali pemain figuran yang muncul dibeberapa scene. Kumpulan massa pendukung PNI yang tak berhujung terlihat pada saat Soekarno menyampaikan pidato-nya yang pertama. Hal itu juga terjadi pada detik-detik proklamasi dan pada saat tentara Nippon menyerang beberapa wilayah Indonesia. Masyarakat-nya pun, disesuaikan dengan  kondisi Indonesia sebelum proklamasi, buruh, petani, pedagang, bahkan orang-orang tua yang dipaksa bekerja dalam romusha mengisi suasana.
            Selain itu, ketelitian Hanung menyeleksi pemain-pemain untuk dijadikan kalangan Belanda dan Jepang patut diancungi jempol. Pemain yang dipilih merupakan keturunan asli dan setidaknya bisa berbahasa Indonesia sesuai intonasinya sendiri. Perwujudan Laksamana Maeda dan Jendral Nishimura merupakan contoh konkret, ia bisa mengimprovisasi gaya bicara berbahasa Indonesia selayaknya berbahasa Jepang. Disamping itu, penggunaan bahasa Belanda dalam tiap perdebatan tokoh nasionalis menambah ketegangan. Bagaimana pun caranya, mengajarkan pemain untuk berbahasa Belanda tidaklah mudah, walaupun hanya sepatah. Hal ini disebabkan karena setidaknya pemeran harus terdengar fasih dan meyakinkan. Sekali lagi, Hanung sukses merancang adegan menjadi sebuah film yang utuh dan padu.
            Di sisi lain, penggunaan pemain yang mementingkan keidentikannya dengan tokoh, ternyata menjebak Hanung sendiri. Beberapa tokoh yang ditampilkan, bukannya menggugah minat penonton, malah membuat samar tokoh itu sendiri. Perbedaan tersebut sangat terlihat pada tokoh Moh. Hatta yang diperankan oleh Lukman Sardi, terjadi perubahan karakter Moh. Hatta, dari tegas dan pasti menjadi sosok yang bimbang, tidak tegas, dan mudah terpengaruh. Hal yang demikian juga terdapat pada tokoh Sutan Sjahrir yang diperankan oleh Tanta Ginting, terjadi perubahan karakter wajah Sutan Sjahrir sehingga terlihat terlalu berambisi dan pemarah.
            Sulitnya mengatur gaya bahasa dan kosa kata daerah tiap pemeran membuat film ini belum bisa disebut sempurna. Beberapa aktor atau aktris yang tidak berkebangsaan asli kurang bisa menggunakan bahasa lokal bangsa tersebut. Contohnya Fatmawati (Tika Bravani) yang terdengar tidak fasih menggunakan bahasa daerah Bengkulu. Tidak hanya itu banyak diantara dialog tokoh yang kadang-kadang tidak menggambarkan gaya berbicara khas Indonesia era kemerdekaan. Sebaliknya terdapat beberapa kalimat yang merupakan bahasa Indonesia sekarang, kebanyakan agar terdengar seperti era sebelum proklamasi, pemeran sering menggunakan kata ‘bung’ untuk sapaan akrab. Dapat diamati pada scene saat Soekarno dan Hatta berbincang di dalam mobil setelah pertemuan dengan Jendral Nishimura.
            Pada awal film, penonton akan digugah jiwa patriotismenya dengan menyanyikan lagu Indonesia yang diselipkan oleh MVP Pictures. Mengingat bahwa ini bukan sekedar film, tapi gambaran bagi kronologi kemerdekaan negeri yang kita huni ini, Indonesia. Penonton akan segera terdorong rasa nasionalismenya oleh adegan Soekarno yang berpidato menggebu-gebu di depan khalayak ramai, bahasa tubuhnya, dan gaya bicaranya, diperankan cukup baik oleh Ario Bayu. Selain itu, di tengah-tengah film disisipi beberapa adegan yang menceritakan kisah cinta romantis anatara Soekarno dan Fatmawati yang pada saat itu masih merupakan muridnya. Kemudian, Hanung mengantarkan penonton pada cerita sedih Soekarno pada saat bertengkar dengan Inggit karena ingin menikahi Fatmawati, Inggit pun cerai. Tetapi cerita cinta mulai bersemi kembali saat Soekarno pada akhirnya menikahi Fatmawati. Adegan tersebut setidaknya menunjukkan Soekarno sebagai manusia biasa, yang tidak sempurna sama dengan kita.
            Satu hal lagi yang membuat film ini semakin menarik. Pada akhir film ditambahkannya video asli momen-momen saat Ir. Soekarno masih hidup, membuat film semakin selaras. Penonton bisa membandingkan latar dalam video asli dengan di film, sangat persis. Hal itu juga sekaligus menambah betapa indahnya akhir kisah proklamasi Indonesia dari sudut Soekarno itu. Tidak menutup kemungkinan akan membuat penonton terkesan dengan suara Soekarno asli Soekarno yang lantang berpidato, dan mimik senyumnya pada akhir film.
            Sekalipun merupakan film yang dapat digolongkan sebagai film semidokumenter atau biografi, film Soekarno memberikan kesan tersendiri dengan cerita nya yang cukup berbeda. Di tiap-tiap menit disisipi adegan-adegan romantis dan perikemanusiaan yang mencerminkan bahwa Soekarno bukan hanya seorang pejuang nasionalis ulung dan proklamator yang konsisten. Tetapi juga merupakan manusia yang mempunyai jiwa dan sikap yang sama seperti kita.

            Di luar itu semua, film ini merupakan film terbaik yang pernah dikeluarkan oleh Hanung Bramantyo dan produser Raam Punjabi. Oleh sebab itu, film ini nampaknya wajib menjadi tontonan sekaligus pengingat jejak sejarah, terutama bagi setiap warga Indonesia. Film ini juga memotivasi dan menginspirasi setiap insan di tanah ibu pertiwi ini, agar semakin mencintai tanah air dan mengikuti jejak pahlawan nasionalis, dengan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Jadi, setidaknya cukup layak jika anda mengeluarkan sedikit uang untuk menontonnya di bioskop. Namun, keputusan menonton film ada di tangan anda.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah berkunjung, tinggalkan komentar yaa