Monday, May 3, 2021

Karsinoma Hepatoseluler (Hepatocellular Carcinoma)

 


PENUGASAN JOURNAL READING INDIVIDU

HEPATOCELLULAR CARCINOMA

 

(LOGO KAMPUS)

 

Disusun oleh:

NAMA                NIM

 

 

FAKULTAS

UNIVERSITAS

20XX


 

A.      Pendahuluan

Hepatocellular carcinoma (HCC) merupakan bentuk tersering dari kanker hati primer (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010). HCC merupakan masalah kesehatan penting dengan urutan keenam neoplasma tersering dan urutan ketiga penyebab kematian akibat kanker. Selain itu, HCC merupakan penyebab utama kematian pasien sirosis (Forner, Reig, dan Bruix, 2018).

 

B.      Epidemiologi

Setiap tahuhnnya lebih dari setengah juta orang di dunia didiagnosis dengan HCC. Kanker hati merupakan kanker tersering kelima pada laki-laki dan ketujuh pada perempuan  (El-Serag, 2011). Selain itu, kanker hati merupakan kanker tersering urutan kelima dan urutan kedua penyabab kematian akibat kanker secara global. HCC mewakili 90% kanker hepar primer dan berkontribusi pada permasalahan kesehatan global (EASL, 2018). Kebanyakan beban penyakit yaitu sebesar 85% terdapat di negera berkembang dengan laju insiden tertinggi dilaporkan di wilayah dimana infeksi HBV bersifat endemis seperti Asia Tenggara dan Afrika sub-Sahara, seperti yang ditunjukkan gambar berikut.


HCC jarang terjadi sebelum usia 40 tahun dan mencapai puncak pada usia 70 tahun. Laju kanker hati di antara laki-laki dua sampai empat kali lipat lebih tinggi dari perempuan. Proporsi tertinggi dari peningkatan kasus HCC terlihat pada populasi Hispanik dan kulit putih usia 45-60 tahun (El-Serag, 2011).

 

C.      Etiologi, Faktor Risiko dan Patogenesis

Berikut ini adalah faktor risiko, etiologi dan patogenesis menurut Sanyal, Yoon, dan Lencioni (2010):

1.       Sirosis (Balogh, et al., 2016)

Faktor risiko utama berkembangnya HCC adalah sirosis yang kebanyakan disebabkan oleh infeksi HBV dan HCV. Infeksi HBV berkontribusi sebesar 50% dan infeksi HCV sekitar 25%. Pada sirosis terjadi penurunan proliferasi hepatosit yang menandakan berkurangnya daya regenerasi hati, diikuti dengan peningkatan jaringan fibrosa dan destruksi sel hati sehingga memungkinkan terbentuknya sebuah kondisi optimal untuk perkembangan nodul kanker (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010).

Pada pasien dengan sirosis diduga terjadi disfungsi telomer dimana telomerase berperan dalam mempertahankan panjang telomer dan stabilitas kromosom pada sel yang berproliferasi seperti hepatosit. Pemendekan telomer akan membatasi proliferasi sel ini oleh sebab itu berkorelasi terhadap pembentukan jaringan fibrosa progresif. Penurunan proliferasi hepatosit oleh pemendekan telomer juga diketahui meningkatkan pembentukan  keganasan. Hal ini bergantung juga pada faktor lain seperti status p53 dan aktivasi sel stelata. Aktivasi sel stelata akan meningkatkan produksi faktor pertumbuhan, sitokin, dan produk stres oksidatif (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010).

Mekanisme onkogenik utama yang terlibat dalam HCC antara lain: phosphoinositol-3-kinase/Akt, myc, Wnt/-catenin, c-Met, dan hedgedog, seperti yang ditunjukkan gambar berikut.


Developmental pathways menyatakan bahwa HCC bisa muncul dari sel punca hepar sedangkan sinyal Akt mendukung terbentuknya sel tumor dengan mensupresi apoptosis terinduksi TGFβ. Pada akhirnya terdapat perubahan molekular yang merusak checkpoints DNA seperti kehilangan fungsi gen supresor tumor p53, inaktivasi regulator siklus sel p27,  kehilangan heterozigositas lokus reseptor insulin-like growth factor 2, serta kehilangan ekspresi protein inhibitos siklus sel p16 (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010).

2.      Infeksi HBV (Balogh, et al., 2016)

Infeksi HBV diketahui dapat mempengaruhi perkembangan HCC melalui cara langsung maupun tidak langsung. Infeksi HBV menyebabkan cedera hepatosit dan nekroinflamasi kronis. Regenerasi yang terus menerus pada sirosis mengakibatkan perubahan dan akumulasi mutasi yang menghasilkan perubahan genetik, pengaturan ulang kromosom, aktivasi onkogen dan inaktivasi gen supresir tumor. Namun, infeksi HBV dapat menyebabkan HCC tanpa melibatkan sirosis dimana DNA HBV berintegrasi dengan DNA sel host dan berperan sebagai agen mutagenik menyebabkan perubahan kromosom dan peningkatan ketidakstabilan genom (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010).

3.      Infeksi HCV (Balogh, et al., 2016)

Kejadian HCC pada infeksi HCV sebagian besar dikaitkan dengan sirosis hati. HCV merupakan virus RNA sehingga tidak dapat berintegrasi ke dalam genom host dan oleh sebab itu menyebabkan perkembangan HCC melalui berbagai cara tidak langsung. Sebagai contoh, HCV core protein diduga memasuki sel host kemudian terakumulasi di membran mitokondria luar, retikulum endoplasma yang kemudian meningkatkan stres oksidatif. Hal ini menyebabkan aktivasi jalur pensinyalan kunci seperti protein kinase teraktivasi p38 dan jalur faktor nuklear kappa B mengarah pada inflamasi, perubahan jalur apoptosis dan pembentukan tumor (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010).

4.      Koinfeksi HIV

Infeksi HIV diduga memperpendek survival pasien sirosis dengan HCV. Selain itu, hepatokarsinogenesis menjadi lebih cepat dan agresif pada pasien koinfeksi HIV dan HCV (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010).

5.      Hepatitis autoimun

Hepatitis autoimun ditandai dengan destruksi progresif parenkim hati yang sering mengarah pada sirosis dan fibrosis hati. Akan tetapi diketahui angka kejadian HCC pada pasien hepatitis autoimun sangat rendah (<1%). Diduga hal ini disebabkan oleh adanya mekanisme patologis yang mencegah progresi sel kanker. Namun, penggunaan imunosupresan pada pasien ini dapat menekan sitokin seperti IL-1β dan TNFα yang diketahui memiliki peran dalam pertumbuhan dan proliferasi sel tumor (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010).

6.      Nonalcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) dan Nonalcoholic Steatohepatitis (NASH) (Balogh, et al., 2016)

Pada pasien dengan NAFLD maupun NASH terjadi  perubahan histologis berupa steatosis dan inflamasi hepar, cedera hepatosit dan fibrosis. Beberapa penelitian menunjukan bahwa NASH terkait dengan berbagai komponen dalam sindrom metabolik yang meningkatkan risiko berkembangnya penyakit hati kronis, sirosis dan HCC. NAFLD juga merupakan faktor penting dalam perkembangan HCC (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010).

7.       Kontaminasi makanan oleh aflatoxin B1(Balogh, et al., 2016)

Aflatoxin merupakan mycotoxin yang diproduksi oleh Aspergillus yang tumbuh dengan mudah pada makanan yang disimpan di tempat hangat dan lembab. Saat tertelan, aflatoxin dimetabolisme menjadi AFB1-exo-8,9-epoxide yang terikat pada DNA dan menyebabkan kerusakan seperti produksi mutasi gen supresor tumor p53 (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010).

8.      Penyakit hati alkoholik (Balogh, et al., 2016)

Konsumsi alkohol berat (>50-70 gr/hari) merupakan penyebab utama terjadinya sirosis hati yang juga faktor risko HCC. Selain itu, asupan alkohol berat juga bersinergis dengan HCV untuk menyebabkan sirosis hati, dimana risikonya meningkat hingga dua kali lipat untuk menjadi sirosis dibandingkan non peminum (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010).

9.      Sirosis bilier primer

10.   Silent Chronic Liver Disease

11.    Hemokromatosis herediter (Balogh, et al., 2016)

12.   Penyakit metabolik genetik (Balogh, et al., 2016)

Penyakit metabolik genetik yang dimaksud seperti defisiensi antitripsin α1, kelainan asam amino, asam empedu, karbohidrat dan lemak, defek siklus urea, porphyria dan penyakit Wilson (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010). 

13.   Infeksi

Infeksi seperti brucellosis, syphilis, echonococcis, dan schistosomiasis dapat menyebabkan sirosis (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010).

14.   Abnormalitas vaskular dan vena

Abnormalitas ini termasuk gagal jantung kanan, perikarditis, telangiektasia hemoragik herediter dan penyakit veno oklusif seperti Budd-Chiari syndrome (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010).

15.    Merokok (Balogh, et al., 2016)*

 

D.     Diagnosis dan Staging

USG, CT, MRI, Lab (Balogh, et al., 2016)

Tiga kriteria stadium klinis dan empat kriteria stadium patologis (Balogh, et al., 2016).

 

E.      Tatalaksana

Perbedaan etiologi berpengaruh terhadap pemberian tatalaksana, seperti: tidak dapat dilakukannya reseksi pembedahan hati, keterbatasan terapi nonoperatif, terdapatnya komorbid (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010).

1.       Pasien dengan infeksi HBV dan HCV diberikan terapi antiviral (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010)

2.      Pembedahan (Balogh, et al., 2016)

a.       Reseksi

Reseksi pembedahan merupakan pilihan terapi yang dapat diterima pada pasien non sirosis dan menyediakan laju kuratif terbaik dengan 5-year survival sebesar 41%-74%. Terapi berupa reseksi hepar ditujukan terutama pada pseian dengan tumor soliter yang hanya berada di hepar, tidak ada bukti radiologis adanya invasi vaskular serta fungsi hepar yang baik (Balogh, et al., 2016).

b.      Transplantasi hepar

Orthotopic liver transplantation (OLT) merupakan pilihan kuratif terbaik pada pasien dengan sirosis dekompensasi. HCC merupakan satu-satunya kanker padat yang dapat ditatalaksana dengan transplantasi. OLT dilakukan pada pasien yang memenuhi kriteria Milan antara lain: tumor HCC single berukuran <5cm atau tiga tumor yang semuanya berukuran ≤3cm yang masing-masing menunjukkan 4-year survival rate sebesar 75%. Selain itu terdapat pengembangan terhadap kriteria Milan dari The University of California San Francisco (UCSF) sehingga disebut kriteria UCSF meliputi: lesi tunggal ≤6,5cm, tiga nodul atau kurang dengan lesi terbesar ≤4,5cm dan dengan diameter total ≤8cm. Dikenal juga terapi regional yang digunakan untuk menurunkan ukuran HCC pada pasien yang tidak memenuhi kriteria transplantasi, terapi ini meliputi transarterial chemoembolization (TACE) dan radiofrequency ablation (RFA). Akan tetapi kekurangan dari OLT ini adalah waktu tunggu yang panjang dan sedikitnya organ yang tersedia, sehingga harus dilakukan pengecekan kembali setiap 3 bulan menggunakan CT atau MRI untuk memastikan apakah pasien masih memenuhi kriteria (Balogh, et al., 2016).

3.      Non Pembedahan (Balogh, et al., 2016)

a.       Transarterial chemoembolization (TACE)

HCC merupakan tumor yang sangat bergantung pada suplai arteri hepatika sehingga embolisasi cabang arteri hepatika mengarah pada hipoksia tumor tertentu dan mengakibatkan nekrosis tumor. Agen yang digunakan meliputi polyvinyl alcohol beads, alcohol, starch microspheres, metallic coils, autologous blood clots dan gelfoam. Kontraindikasi TACE adalah sirosis terdekompensasi (Child Pugh B), tumor masif di kedua lobus, penurunan aliran portal yang berat, trombosis tumor vena porta dan klirens kreatinin <30mL/menit (Balogh, et al., 2016).

b.      Transartetial radiation

Transartetial radiation merupakan sebuah bentuk radiasi internal menggunakan kateter yang mengantarkan sejumlah kecil radioisotop langsung ke dalam tumor. Agen yang biasa digunakan adalah Yttrium-90  (Y-90) atau iodine-131-labeled-lipiodol. Prosedur ini dinilai aman dan efektif pada pasien sirosis dengan HCC dan diindikasikan pada kasus trombosis neoplastik vena porta (Balogh, et al., 2016).

c.       Percutaneous local ablation

Percutaneous local ablation meliputi percutaneous ethanol injection dan radiofrequency ablation (RFA). RFA merupakan pilihan terapu untuk destruksi lokal tumor hati. RFA menghasilkan nekrosis koagulasi tumor yang meninggalkan safety margin disekitar tumor. RFA dapat dilakukan perkutan dibawah panduan CT atau USG atau selama pembedahan dengan USG intraoperatif. Akan tetapi RFA juga memiliki beberapa keterbatasan termasuk sulitnya mengablasi tuor yang berdekatan dengan pembuluh darah utama (Balogh, et al., 2016).

d.      Microwave ablation (MWA)

MWA dapat dilakukan perkutan maupun intraoperatif dan merupakan prosedur operatif kuratif yang potensial. MWA memanfaatkan gelombang elektromagnetik dengan frekuensi >900 kHz untuk mengablasi focus tumor. Namun, dibandingkan RFA terdapat peningkatan risiko cedera pada struktur yang berdekatan (Balogh, et al., 2016).

4.      Terapi sistemik

Terapi sistemik menggunakan inhibitor tirosin kinase seperti sorafenib dapat meningkatkan survival median pada pasien HCC stadium lanjut. Sorafenib dapat diberikan pada pasien yang bukan merupakan kandidat reseksi maupun transplantasi dan gagal terhadap terapi locoregional (Balogh, et al., 2016).

 

F.      Prognosis

Prognosis pasien dengan HCC buruk (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010).

 

G.     Pencegahan

1.       Surveilans (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010) dan skrining (Balogh, et al., 2016)

Berikut ini adalah populasi yang direkomendasikan EASL (2018) untuk dilakukan skrining:


2.      Pemberian vaksinasi terhadap HBV (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010)

3.      Terapi interferon pada pasien HCV (Sanyal, Yoon, and Lencioni, 2010)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Referensi

Balogh, J., Victor III, D., Asham, E. H., Burroughs, S. G., Boktour, M., Saharia, A., Li, X., et al., 2016. Hepatocellular carcinoma: a review, Journal of Hepatocellular Carcinoma, 2016(3), pp.41-53

El-Serag, H. B., 2011. Current Concepts Hepatocellular Carcinoma, The New England Journal of Medicine, 2011(365), pp.1118-27.

European Association for the Study of the Liver, 2018. EASL Clinical Practice Guidelines: Management of Hepatocellular Carcinoma, Journal of Hepatology 2018, vol 69, pp.182-236

Forner, A., Reig, M., Bruix, J., 2018. Hepatocellular Carcinoma, Lancet 2018, vol 391, pp.1301-14

Sanyal, A. J., Yoon, S. K., and Lencioni, R., 2010. The Etiology of Hepatocellular Carcinoma and Consequences for Treatment, The Oncologist, 15(suppl 4), pp.14-22.

 

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah berkunjung, tinggalkan komentar yaa