Andong
Mbah No
Cerpen
Yudhi Herwibowo
Nama aslinya Surono. Tapi biasa
dipanggil Mbah No. Sejak lama saya sudah mengenalnya. Mungkin sejak duduk di
kelas 1 SD, sekitar 15 tahun yang lalu. Mbah No adalah penarik andong. Maka
itulah ibu meminta Mbah No agar mau mengantar jemput saya sekolah setiap hari.
Memang tak hanya saya sendiri, tapi bersama-sama beberapa anak tetangga lainnya
yang kebetulan satu sekolah. Tak heran, hampir 3 tahun lamanya, saya selalu
naik andong Mbah No. Saya baru berhenti ketika ayah membelikan saya sepeda BMX.
Tapi selama 3 tahun itu, walau
mungkin ada beberapa anak yang selalu bersama saya, tapi saya rasa, sayalah
yang paling dekat dengan Mbah No. Mungkin karena rumah kami yang tepat
berbelakangan. Jadi saya selalu dijemput kali pertama dan diantar kali
terakhir.
Sungguh, saya menyukai Mbah No.
Terutama saat ia bercerita. Termasuk cerita tentang si Pekik, kuda yang selalu
mengangkut kami ini. Biasanya sambil bercerita, Mbah No membiarkan saya
memegang kendali si Pekik berikut pecutnya sekaligus. Tapi dulu itu, saya tak
punya keberanian memecut si Pekik. Saya hanya berteriak-teriak menyuruh kuda
hitam itu berlari cepat. Dan Mbah No akan terkekeh di samping saya.
Bagi saya, sepertinya ia sudah
menjadi ayah kedua. Mungkin ini berlebihan. Tapi banyak kejadian yang membuat
pikiran itu terlintas di kepala saya. Seperti saat saya kali pertama berantem,
Mbah No-lah yang pertama memeluk saya karena Anton Gendut menonjok mata saya
hingga bengkak.
Mbah No juga yang selalu melihat
nilai ulangan saya yang jeblok dan mencoba menghibur serta memberi semangat
agar lebih giat belajar. Ah... terlalu banyak cerita saya dengannya!
Tak heran bila sejak saya tak ikut
dengan andongnya pun, saya masih terus berhubungan dengannya. Sering saya
menghabiskan waktu di rumah Mbah No, di mana ia tinggal sendirian sejak
istrinya meninggal. Saat itu, kami sering mengobrol di dipan kayu sambil minum
teh. Sering juga kami memandikan si Pekik bersamaan. Kejadian ini berlangsung
lama, bahkan sampai si Pekik mati pun, saya yang menggali kuburannya di samping
rumah Mbah No.
Ah, Mbah No, Mbah No... Saya
benar-benar merindukan saat-saat seperti itu!
Dan kini saya teringat lagi padanya,
bukan karena kejadian itu semua, tapi karena hal yang tidak mengenakkan! Saat
ini saya benar-benar merasa bersalah. Sejak saya diterima kerja di hotel
terbesar di Solo ini, saya memang jadi jarang bertemu dengan Mbah No. Apalagi
sejak 3 tahun yang lalu, kami pindah ke perumahan lain. Jadi Mbah No semakin
jauh dari saya.
Terakhir saya ingat, ketika saya
menyampaikan berita gembira itu sekitar 5 bulan yang lalu. Masih saya ingat
sinar mata berbinar Mbah No ketika saya sampaikan tujuan saya datang sore itu.
Saat itu saya memang membawa perintah kepala hotel saya untuk menawari Mbah No
kerjaan di hotel kami.
“Jadi andong hotel, Nak Ndjar?”
tanyanya dengan sinar tak percaya.
“Iya, Mbah,” saya juga ikut senang.
“Nanti kalau ada turis-turis yang ingin keliling kota, Mbah yang nganter. Ke
Klewer, ke keraton, ke Sriwedari, atau kemana saja. Nanti andong Mbah No akan
didandani, seperti andong keraton. Pakai hiasan-hiasan bagus. Mbah No juga!”
Masih dengan mata berbinar,
ditepuk-tepuknya leher si Sekti, kuda pengganti si Pekik ini berulang kali.
“Seperti naik pangkat, Le!” ujar Mbah No bercanda.
“Dan yang pasti lagi, Mbah,” tambah
saya masih bersemangat,”Tiap bulan Mbah No dapat gaji tetap! Lumayan, Mbah.”
Sungguh, saya masih ingat kejadian
itu. Bagaimana mungkin saya lupa dengan sinar mata berbinar itu?
Dan kini, hanya selang 5 bulan
kemudian, kejadian yang bertolak belakang akan saya lakukan! Sungguh,
sepertinya saya ingin berlari menjauh saja. Saya benar-benar membenci Pak
Parto, direktur saya yang baru itu. Juga Pak Kanto, yang seenaknya saja
memutuskan kerja sama dengan Mbah No.
“Ndak udah sedih gitu, Le!” Mbah No
menepuk-nepuk punggung saya.
“Andjar sudah berusaha membujuk Pak
Kanto, Mbah, tapi sulit. Kondisi hotel sekarang memang sedang susah.
Bulan-bulan ini, turis-turis hanya beberapa saja yang datang. Jadi...” saya tak
bisa melanjutkan.
“Iya, iya, Mbah bisa ngerti, kok!”
Setelah itu, tak banyak pembicaraan
di antara kami. Saya yakin Mbah No pasti sedang berfikir kelanjutan cerita ini.
Dia pasti akan kembali lagi ke jalan, menunggu penumpang, membawa
kulakan-kulakan segede gunung yang berbau, dengan tenaga kudanya yang tua,
setua tenaganya sendiri.
Ah, saya benar-benar tak ingin
membayangkannya. Setelah memberi pesangon titipan kantor, saya pun berlalu.
Dalam hati saya berjanji suatu saat
saya akan kembali lagi memanggil Mbah No bekerja di Hotel.
Sejak itu saya tak pernah lagi
bertemu dengan Mbah No.
Sesekali saya sempatkan mampir,
membawakan martabak telor, kesukaannya. Tapi tak pernah saya temui dia. Saya
pun hanya bisa meninggalkan martabak itu, melalui jendela, di atas dipannya.
Sampai akhirnya setelah beberapa
bulan lewat, kondisi pun mulai membaik, perlahan-lahan mulai bangkit. Saat
rapat pengembangan, saya mulai kembali mengusulkan pengadaan fasilitas andong
untuk hotel ini. Dan ternyata ide saya diterima dengan baik.
Maka siang itu juga, saya segera
pergi ke rumah Mbah No.
Tapi saya tak temui Mbah No di sana.
Saya coba cari di pangkalan. Tapi tak juga ada. Akhirnya terpaksa saya tunggu.
Sekitar satu jam kemudian, Mbah No saya lihat muncul di belokan gang itu.
“Eh, kamu, Le,” sapanya begitu
dekat,”Sudah lama menunggu?”
Saya mengangguk,”Iya, lumayan, Mbah.
Tapi...” mata saya berputar ke sekeliling,”Mana Sekti, Mbah? Kok, Mbah No
pulang dengan jalan kaki?”
“Oooh, itu,” Mbah No terkekeh
sesaat, tapi saya merasa aneh mendengar kekehnya itu, seperti terlalu
dipaksakan.
Saya tunggu ia menuangkan air kendi.
“Sekti sudah Mbah jual,” ujarnya
setelah meneguk airnya,”Dia sudah tua, kemarin ngangkat kapuk beberapa kilo
saja sudah kelenger. Sebelum nanti mati di jalan, biar Mbah jual duluan saja.
Lumayan, masih ada yang beli dengan harga tinggi...”
***
Sumber : A.R, Syamsuddin. 2005. Kompetensi Berbahasa dan Sastra Indonesia. Solo: Tiga Serangkai
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah berkunjung, tinggalkan komentar yaa